Dulu Saya Menganggap

2–4 menit

Oleh. Satria hadi lubis

DULU saya menganggap yang  harmonis itu kalau suami istri berkarir bersama, sering pasang foto kemesraan di medsos, tapi apalah artinya jika itu hanya pencitraan. Kenyataannya tidak rukun, ada jarak, ada hati terluka yang disembunyikan karena kecurigaan pasangannya mendua. Tidak saling menolong dan menasehati untuk sehidup sesurga.

Dulu saya menganggap yang bahagia itu jika sering jalan-jalan dengan pasangan dan anak ke mall dan tempat rekreasi lainnya, tapi ternyata cukup di rumah kita bisa bahagia dengan keluarga, sambil mendidik anak secara langsung yang selama ini terabaikan. Jangan menganggap pendidikan anak sudah beres di tangan bapak ibu guru, padahal untuk gerakan sholat saja anak belum bisa melakukannya dengan benar.

Dulu saya menganggap yang hebat itu kalau bisa keliling dunia lalu foto-foto di berbagai negara, tapi ternyata apalah artinya jika tidak pernah naik haji dan umroh dengan alasan belum dapat hidayah. Sedang usia terus bertambah dan sisa hidup makin sedikit.

Dulu saya menganggap yang mentereng itu kalau punya rumah bagus, besar dan mewah, tapi ternyata apalah artinya jika yang paling dibenci Allah itu adalah kemubaziran. Rumah luas dan mewah padahal tidak fungsional dan jarang dipakai untuk pengajian. Apalagi jika penghuninya jarang sholat dan membaca al Qur’an hanya di bulan Ramadhan.

Dulu saya menganggap yang keren itu punya mobil mewah, Lamborghini, Ferrari, Alphard atau punya koleksi berbagai barang mewah. Padahal Rasulullah saw saja malu jika di rumahnya ada uang berlebih lalu buru-buru beliau menginfakkannya.

Dulu saya menganggap yang utama itu kalau bisa menyekolahkan anak ke sekolah mahal yang bahasanya Inggris, terus sehari-hari ngomongnya bahasa Inggris campuran. Namun apalah artinya saat ditanya rukun iman dan rukun Islam tidak bisa menyebutkan dengan benar. Tidak tahu doa sehari-hari, seolah-olah anak tidak pernah hidup untuk ibadah.

Dulu saya menganggap yang bergengsi itu jika sekolah tinggi dengan gelar segambreng, tapi ternyata apalah artinya jika tidak digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Malah gelar segambreng itu digunakan untuk memanipulasi orang lain dan korupsi.

Dulu saya menganggap yang disebut sukses itu kalau sudah jadi manajer sebuah perusahaan top atau jadi pejabat, tapi apalah artinya jika jabatan itu digunakan untuk petantang petenteng dan berlaku sewenang-wenang kepada bawahan atau orang lain. Padahal Umar bin Khatab ra saja menangis ketika diangkat menjadi khalifah. Seakan dunia mengubur akhiratnya, sampai beliau sulit tidur karena takut rakyatnya ada yang kelaparan.

Dulu saya menganggap yang dimaksud berbakti itu jika bisa memberikan rumah bagus dan mobil mewah kepada orang tua, tapi apalah artinya jika mendoakan orang tua saja jarang, melayani mereka saja harus menunggu hari raya. Kata-katanya pedas menusuk perasaan orang tua. Tanpa disadari mereka menangis sakit hati di malam yang sepi seperti kisah al Qomah.

Ah…banyak lagi yang dulu saya anggap hebat, keren dan sukses ternyata tidak ada artinya jika tidak sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Apalagi jika jelas-jelas bertentangan.

Ah…dunia ini memang menipu.
Dunia ini ternyata senda gurau belaka yang memperdayakan.

“Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau belaka. Sedang negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?” (Qs. 6 ayat 32).

Renungkanlah wahai diri…
Apa yang telah engkau langgar selama ini.
Dan bersegeralah pasrah kembali kepada Penciptamu, sebelum kau menyesal lebih banyak lagi.

“Sungguh rugi orang-orang yang mendustakan pertemuan dengan Allah; sehingga apabila Kiamat datang kepada mereka secara tiba-tiba, mereka berkata, “Alangkah besarnya penyesalan kami terhadap kelalaian kami tentang Kiamat itu,” sambil mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Alangkah buruknya apa yang mereka pikul itu” (Qs.6 ayat 31).

Tinggalkan komentar