MEMIMPIN ITU MENDERITA

2–4 menit

By. Satria hadi lubis

ADA pepatah Belanda yang mengatakan, “Memimpin itu jalan untuk menderita (leiden is lijden).” Pepatah ini juga sering disebutkan oleh KH Agus Salim semasa hidupnya.

Mungkin yang dimaksud menderita disini adalah melayani, peduli dan sungguh-sungguh memperhatikan kesejahteraan orang yang dipimpinnya, sehingga tak punya keinginan lagi untuk memperkaya diri, bersikap egois dan harus siap meninggalkan berbagai kesenangan pribadi dengan hidup sederhana.

Begitulah watak kepemimpinan yang benar. Siap susah dan menderita karena mengabdi untuk menjadi pelayan umat (khodimul ummah).

Al Qur’an menyebut karakter kepemimpinan Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin yang melayani (the servant leader) dalam surat 9 ayat 128 : “Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.”

Beliau saw juga hidup sederhana sebagai tanda empati dan kepedulian terhadap orang kecil, padahal beliau bisa hidup bermewahan.

Suatu ketika Umar bin Khattab ra melihat ada bekas-bekas pada punggung beliau karena alas tidurnya terbuat dari pelepah kurma. Umar bin Khattab ra menangis. Rasulullah saw yang melihat itu pun bertanya pada Umar, “Apa yang membuatmu menangis?” Umar bin Khattab ra menjawab, “Demi Allah, saya menangis setelah mengetahui bahwa engkau lebih mulia dari raja-raja dan kaisar. Mereka hidup sesuai dengan kemauannya di dunia (mewah dan kaya), sementara engkau adalah utusan Allah. Seperti yang saya lihat, engkau tidur di tempat yang seperti ini (sangat sederhana),” lanjut Umar bin Khattab. Rasulullah saw bertanya, “Bukankah kamu suka kalau mereka mendapat kesenangan dunia sementara kita mendapat kesenangan akhirat?” Umar bin Khattab menjawab lagi, “Tentu, wahai rasul.” “Memang demikianlah adanya,” kata Rasulullah saw” (HR Ahmad)

Siap menderita dan peduli sebagai pemimpin itu juga menurun pada diri para sahabat Rasulullah saw, termasuk pada diri Abu Ubaidah bin Jarrah ra.

Suatu ketika, Khalifah Umar bin Khattab ra ingin meninjau langsung pasukan kaum muslimin yang sedang berada di Syam. Beliau pun menunggangi untanya dan melakukan perjalanan hingga tiba di perbatasan Syam. Sesampainya di sana, beliau beristirahat di sebuah tenda milik panglima perang saat itu, yaitu Abu Ubaidah bin al-Jarrah ra. Abu Ubaidah menyambut beliau dengan penuh hormat dan kehangatan. Saat itu bertepatan dengan waktu makan siang. Lalu seseorang bertanya kepada Umar, “Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau ingin disuguhi makanan seperti yang dimakan pasukan, atau makanan seperti yang dimakan panglima pasukan?”

Umar menjawab, “Bawakan keduanya.” Maka dihidangkanlah terlebih dahulu makanan pasukan. Ternyata isinya adalah daging yang dimasak berkuah dan roti yang dicelupkan dalam kuah itu (tsarid). Melihat itu, Umar bertanya, “Ini makanan pasukan?”
Mereka menjawab, “Benar, wahai Amirul Mukminin.” Lalu Umar berkata, “Sekarang bawakan makanan panglima pasukan.”

Mereka pun membawakan makanan Abu Ubaidah : hanya remah-remah roti kering dan sedikit susu. Melihat itu, Umar bin Khattab pun menangis. Beliau berkata, “Benarlah (Rasullullah) yang menjulukimu sebagai ‘Aminu hadzihil ummah’—Orang yang paling dapat dipercaya di umat ini.”

Begitulah pemimpin yang diajarkan Rasulullah Muhammad saw : siap menderita. Peduli dan rela hidup sederhana.

Beda dengan pemimpin zaman sekarang yang sebagian besar menganggap kepemimpinan itu sebagai privilese (keistimewaan), bukan jalan untuk menderita. Saat ini menjadi pemimpin disalah artikan sebagai jalan untuk mendapatkan fasilitas khusus, untuk dilayani (bukan melayani) rakyatnya, serta kesempatan untuk memperkaya diri dan hidup mewah. Kalau perlu dengan cara yang curang dan zalim.

“Tidaklah mati seorang hamba yang Allah minta untuk mengurus rakyat (menjadi pemimpin), sedangkan dia dalam keadaan menipu (mengkhianati) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Tinggalkan komentar